(Ilustrasi oleh : Instagram @rohadidavid )
“Jadi, kamu kabur dari
rumah?” Gadis berambut pendek itu sedikit memiringkan kepalanya saat bertanya
kepadaku.
“Tentu saja tidak,” jawabku, coba mengelak.
“Lalu?” Tanya gadis itu untuk kesekian kalinya. Baru tiga
puluh menit kami di sini, dan sekarang aku yakin kalau dia gadis yang selalu
ingin tahu urusan orang lain.
“Aku hanya sedang butuh waktu untuk sendiri,” kali ini
jawaban yang keluar dari mulutku terdengar sangat pelan, bahkan aku tidak yakin
ia bisa mendengarnya.
Untuk
beberapa saat, aku tidak mendengar lagi tanggapan dari gadis itu. Aku
mengalihkan pandanganku ke jalanan di depan kami, dan ia pun mengikuti arah
pandanganku. Hari sudah gelap, namun hujan masih saja turun dengan intensitas
sedang. Orang-orang berjalan dengan langkah cepat di bawah payung-payung
transparan. Sayangnya aku tidak seberuntung mereka karena tidak membawa payung.
Dan hasilnya, aku terjebak di emperan sebuah café di Akihabara bersama seorang
gadis SMP yang banyak tanya.
Padahal
dua jam lalu, langit masih cerah. Bahkan ramalan cuca yang kulihat pagi tadi
juga mengatakan bahwa cuaca akan cerah sepanjang hari. Namun ternyata hujan di
awal musim panas masih saja turun seperti kemarin. Ah, aku jadi kembali
teringat dengan kejadian kemarin. Kemarin, saat aku meninggalkan rumah, cuaca
di luar juga sedang hujan.
Hal
terakhir yang kuingat sebelum meninggalkan rumah adalah tatapannya. Ketika aku
membentaknya dengan sangat keras, wanita itu berhenti membalas. Ia tidak lagi
membalikan semua kata-kataku. Ia hanya diam. Namun entah mengapa, matanya yang
menatapku dengan pandangan kosong justru membuatku merasa bersalah.
Aku
meraih gelas di atas meja dan membantingnya sekuat tenaga. Sayagnya suara
pecahan kaca tidak mampu mengusir kesunyian di ruangan itu. Wanita itu masih
saja menatapku dengan pandangan mata yang kosong. Namun ketika aku kembali
memerhatikan matanya, aku tahu, ada kesedihan di sana. Dan saat itu juga aku
sadar bahwa semua yang kulakukan salah.
“Bukankah
kamu mencintainya?” Pertanyaan gadis itu membuyarkan lamunanku.
“Tentu
saja.” Aku masih tidak mengerti, kenapa aku bisa menceritakan semuanya kepada
seorang gadis SMP yang baru ku kenal tiga puluh menit lalu. Dan sekarang, aku
sedikit menyesali keputusanku untuk bercerita. “Kalau aku tidak mencintainya,
aku tidak mungkin menikahinya.”
“Kalau
begitu, kenapa kamu meninggalkannya?”
Kalau boleh jujur, pertanyaan itu juga terus
menghantuiku, bahkan sejak langkah pertamaku meninggalkan rumah. Aku juga masih
mempertanyakan keputusan bodoh ini. “Entahlah. Semuanya terlalu rumit.”
“Aku tidak mengerti. Apakah dengan meninggalkannya, bisa
membuatnya tidak rumit lagi?”
Aku tidak tahu lagi bagaiman harus menjawab pertanyaan
gadis itu. Tidak ada lagi tempat untuk mengelak. Yang tersisa tinggal
penyesalan.
Akhirnya hujan berhenti. Orang-orang di jalan mulai
menutup payungnya, dan orang-orang yang sedang berteduh mulai bersiap untuk
kembali melanjutkan perjalanan.
“Akhirnya hujan berhenti,” kata gadis itu sambil
merapihkan pakaiannya yang sedikit basah karena hujan.
Berbeda dengan orang-orang lainnya, aku tidak tahu harus
ke mana walaupun hujan saudah reda. Mungkin hotel kapsul lagi? Atau internet
café yang leibih murah?
“Ayo,” gadis itu bersiap pergi.
“Eh, ke mana?”
“Tentu saja pulang.”
TAMAT.
TAMAT.
***
Minngu lalu saya menghadiri acara "Kampus Fiksi Roadshow Jakarta" yang diadakan oleh Penerbit DIVA Press. Di sesi terakhir acara tersebut, kami diminta menulis sebuah cerpen secara mendadak dalam waktu satu jam (tanpa editing). Dari semua peserta akan dipilih beberapa cerpen terbaik yang akan mendapatkan golden ticket untuk mengikuti Kampus Fiksi Regular.
Walaupun saya belu mendapatkan golden ticket melalui cerpen saya ini, tapi inilah cerpen saya :).
Mohon kritik dan sarannya.
Selamat membaca :).
@rohadidavid.
THANKS.
suka deh dangan gata penulisannya
ReplyDeleteprospek saham mayora