Thursday, November 10, 2016

Menunggu hujan, menunggu pulang.

(Ilustrasi oleh : Instagram @rohadidavid )


“Jadi, kamu kabur dari rumah?” Gadis berambut pendek itu sedikit memiringkan kepalanya saat bertanya kepadaku.

            “Tentu saja tidak,” jawabku, coba mengelak.

            “Lalu?” Tanya gadis itu untuk kesekian kalinya. Baru tiga puluh menit kami di sini, dan sekarang aku yakin kalau dia gadis yang selalu ingin tahu urusan orang lain.

            “Aku hanya sedang butuh waktu untuk sendiri,” kali ini jawaban yang keluar dari mulutku terdengar sangat pelan, bahkan aku tidak yakin ia bisa mendengarnya.

Untuk beberapa saat, aku tidak mendengar lagi tanggapan dari gadis itu. Aku mengalihkan pandanganku ke jalanan di depan kami, dan ia pun mengikuti arah pandanganku. Hari sudah gelap, namun hujan masih saja turun dengan intensitas sedang. Orang-orang berjalan dengan langkah cepat di bawah payung-payung transparan. Sayangnya aku tidak seberuntung mereka karena tidak membawa payung. Dan hasilnya, aku terjebak di emperan sebuah café di Akihabara bersama seorang gadis SMP yang banyak tanya.

Padahal dua jam lalu, langit masih cerah. Bahkan ramalan cuca yang kulihat pagi tadi juga mengatakan bahwa cuaca akan cerah sepanjang hari. Namun ternyata hujan di awal musim panas masih saja turun seperti kemarin. Ah, aku jadi kembali teringat dengan kejadian kemarin. Kemarin, saat aku meninggalkan rumah, cuaca di luar juga sedang hujan.

Hal terakhir yang kuingat sebelum meninggalkan rumah adalah tatapannya. Ketika aku membentaknya dengan sangat keras, wanita itu berhenti membalas. Ia tidak lagi membalikan semua kata-kataku. Ia hanya diam. Namun entah mengapa, matanya yang menatapku dengan pandangan kosong justru membuatku merasa bersalah.

Aku meraih gelas di atas meja dan membantingnya sekuat tenaga. Sayagnya suara pecahan kaca tidak mampu mengusir kesunyian di ruangan itu. Wanita itu masih saja menatapku dengan pandangan mata yang kosong. Namun ketika aku kembali memerhatikan matanya, aku tahu, ada kesedihan di sana. Dan saat itu juga aku sadar bahwa semua yang kulakukan salah.

“Bukankah kamu mencintainya?” Pertanyaan gadis itu membuyarkan lamunanku.

“Tentu saja.” Aku masih tidak mengerti, kenapa aku bisa menceritakan semuanya kepada seorang gadis SMP yang baru ku kenal tiga puluh menit lalu. Dan sekarang, aku sedikit menyesali keputusanku untuk bercerita. “Kalau aku tidak mencintainya, aku tidak mungkin menikahinya.”

“Kalau begitu, kenapa kamu meninggalkannya?”

Kalau boleh jujur, pertanyaan itu juga terus menghantuiku, bahkan sejak langkah pertamaku meninggalkan rumah. Aku juga masih mempertanyakan keputusan bodoh ini. “Entahlah. Semuanya terlalu rumit.” 
“Aku tidak mengerti. Apakah dengan meninggalkannya, bisa membuatnya tidak rumit lagi?”

Aku tidak tahu lagi bagaiman harus menjawab pertanyaan gadis itu. Tidak ada lagi tempat untuk mengelak. Yang tersisa tinggal penyesalan.

Akhirnya hujan berhenti. Orang-orang di jalan mulai menutup payungnya, dan orang-orang yang sedang berteduh mulai bersiap untuk kembali melanjutkan perjalanan.

“Akhirnya hujan berhenti,” kata gadis itu sambil merapihkan pakaiannya yang sedikit basah karena hujan.

Berbeda dengan orang-orang lainnya, aku tidak tahu harus ke mana walaupun hujan saudah reda. Mungkin hotel kapsul lagi? Atau internet café yang leibih murah?

“Ayo,” gadis itu bersiap pergi.

“Eh, ke mana?”

“Tentu saja pulang.”


TAMAT.


***

Minngu lalu saya menghadiri acara "Kampus Fiksi Roadshow Jakarta" yang diadakan oleh Penerbit DIVA Press. Di sesi terakhir acara tersebut, kami diminta menulis sebuah cerpen secara mendadak dalam waktu satu jam (tanpa editing). Dari semua peserta akan dipilih beberapa cerpen terbaik yang akan mendapatkan golden ticket untuk mengikuti Kampus Fiksi Regular. 
Walaupun saya belu mendapatkan golden ticket melalui cerpen saya ini, tapi inilah cerpen saya :).
Mohon kritik dan sarannya.
Selamat membaca :).


@rohadidavid.

THANKS.

1 comment: