Sunday, December 25, 2016

Sebatang Bambu, Secarik Kertas dan Harapan untuk Bertemu Kembali








“Hei, Izuki-kun. Kau tahu legenda tentang tanabata?” Sambil menulis sebaris harapan di lembar tanzaku-nya, Haruka mulai bercerita padaku.



Itu kisah yang terjadi bertahun-tahun lalu. Pada malam perayaan tanabata itu, kami berdua masih berusia delapan tahun. Pada saat itu, bahkan aku tidak mengerti untuk apa kami merayakan tanabata setiap malam ketujuh pada bulan ketujuh. Sebenarnya sampai saat ini pun aku masih tidak mengerti kenapa banyak orang masih memegang tradisi walaupun hidup di pusat kota besar seperti Tokyo. Ya, mungkin hal ini sudah menjadi kebiasaan yang melekat di kehidupan keluarga Haruka dan banyak keluarga lainnya.

Walaupun aku tidak sepenuhnya mengerti tradisi itu, aku selalu senang ketika Haruka mengajakku bergabung bersama keluargannya. Pohon bambu berukuran sedang dipersiapkan di pekarangan rumah mereka. Di antara daun-daunnya, kami semua menggantungkan lembaran kertas waran-warni yang bertuliskan harapan kami. Di selembar kertas bernama tanzaku itu, aku pernah meinta mainan robot, liburan keluarga yang sederhana, sampai serangga paling langka di bukit belakang sekolah,

Aku tidak pernah tahu apa yang ditulis Haruka di tanzaku miliknya. Ketika aku menoleh ke arahnya, ia berusaha menutupi tanzaku-nya dengan tangannya yang mungil. “Himitsu – Rahasia,” katanya sambil mengujurkan lidah seraya meledek.

Di lain kesempatan, aku pernah mencoba mengintipnya saat ia asyik menulis. Namun ternyata Haruka jauh lebih wasapada dari yang kukira. Sebagai balasan, ia malah menceritakan suatu kisah tentang tanabata. Sebuah kisah yang pada akhirnya menjadi kisah favorit kami.

“Hei, Izuki-kun. Kau tahu legenda tentang tanabata?”

Malam itu, Haruka kecil bercerita. Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang putri Dewa Langit yang bernama Orihime. Orihime sangat suka menenun. Suatu hari, Orihime bertemu penggembala beranama Hikoboshi. Pertemuan itu merupakan awal tumbuhnya benih-benih cinta di antara mereka. Pada awalnya Dewa Langit tidak merestui hubungan mereka, namun kegigihan Hikoboshi berhasil meluluhkan hati sang Dewa Langit. Dan mereka pun menikah. Sayangnya, setelah menadi suami istri, mereka berubah. Pasangan suami istri ini larut dalam kebahagiaan. Orihime tidak lagi menenun, dan Hikoboshi juga tidak lagi menggembala. Melihat hal ini, Dewa Langit pun murka dan memisahkan mereka berdua dengan sungai Amanogawa. Setelah mereka tinggal terpisah, mereka hanya bisa bertemu satu kali dalam satu tahun, yaitu pada malam ketujuh di bulan ketujuh, malam tanabata. Namun, apabila pada malam itu hujan turun, sungai Amanogawa akan meluap dan mereka tidak bisa bertemu.

Bertahun-tahun telah berlalu sejak aku mendengar kisah itu, dan malam ini aku baru mengerti apa yang dirasakan oleh pasangan Orihime dan Hikoboshi.

Setelah bertahun-tahun pun aku masih merayakan malam tanabata bersama keluarga Haruka. Di malam tanabata tahun ini, aku dan Haruka sudah memasuki tahun pertama kami di SMA. Itu artinya, sudah bertahun-tahun waktu yang kuhabiskan bersama Haruka. Sekarang Haruka kecil sudah menjadi Haruka yang cantik. Sayangnya, semua itu baru kusadari tiga hari yang lalu. Bersamaan dengan hadirnya kesedihan Orihime dan Hikoboshi dalam diriku.


***

Tiga hari yang lalu, Haruka dan aku pergi ke festival kemabang api di tepi sungai Sumida. Sumidagawa hanabi taikai atau Festival kembang api sungai Sumida adalah festival kembang api terbesar di Tokyo.

Kawasan Asakusa yang menjadi lokasi festival dipayungi langit hitam yang membentang luas bagaikan sebuah layar tak berbatas. Jalan-jalan di tepian sungai terlihat dipadati pengunjung yang datang dengan wajah ceria. Ada gerombolan orang yang bersenda gurau, ada keluarga hangat yang ingin menunjukan hal hebat kepada anaknya, ada pula pasangan yang bergandengan tangan dengan malu-malu di tengah keramaian.

Selain melihat kembang api, pengunjung juga bisa menemukan kios-kios yang menjajakan berbagai macam hal, mulai dari makanan, pernak-pernik, sampai permainan.

Sebelum kembang api diluncurkan, kami memilih untuk berkeliling dari satu kios ke kios lainnya. Di salah satu kios, kami sempat bermain permaian menangkap ikan. Rasanya sulit sekali menangkap ikan di dalam kolam dengan menggunakan serokan yang terbuat dari kertas. Dan setelah melubangi lima serokan kertas, aku berhasil menangkap seekor ikan kecil. Ketika aku memberikan ikan tersebut kepada Haruka, ia malah tertawa. Tidak jelas apa yang membuatnya tertawa. Mungkin ia merasa senang. Atau mungkin juga ia menertawakan kepayahanku yang hanya bisa menangkap seekor ikan kecil. Yang manapun itu, aku tidak terlalu mempedulikannya.

Setelah puas bermain, kami menghampiri kios makanan. Aku memesan bola-bola berisi gurita yang disebut takoyaki, sedangkan Haruka hanya membeli watame si permen kapas berukuran besar. Dengan ukuran permen kapasnya yang besar, mudah bagiku untuk ikut menggitnya secara sembunyi-sembunyi. Dan ketika Haruka memergokiku melakukannya, ia memasang wajah cemberut untuk beberapa detik, sebelum akhirnya tawanya pecah.

Seperti inilah kami ketika menghabiskan waktu bersama. Bagiku, hubungan kami sudah berubah dari teman masa kecil, menjadi hubungan dua orang yang senang membuat satu sama lain tertawa. Dan rasanya, hari ini aku ingin membuat Haruka tertawa lebih banyak dari biasanya. Karena mungkin, inilah kesempatan terakhirku.

Setelah menunggu selama satu jam, akhirnya hal yang ditunggu-tunggu tiba juga. Dari seberang sungai, terlihat setitik cahaya yang meluncur cepat membelah pekatnya langit malam. Dan ketika cahaya itu mencapai titik tertingginya, ia meledak di tengah kegelapan. Ledakan-ledakan cahaya itu merobek langit malam dan memancarkan warna-warni yang sangat menakjubkan. Seakan ribuan kunang-kunang berkumpul dalam satu tempat, menari bersama dan memamerkan keindahan cahaya mereka. Ada beberapa detik yang diisi oleh kesunyian ketika cahaya itu meluncur dan meledak. Hampir tidak ada orang yang berbicara detik itu. Mereka semua tidak ingin kehilangan momen tersebut, walau hanya satu detik.

Hal itu pula yang terjadi pada Haruka. Di sebelahku, Haruka berdiri mematung sambil tertegun. Ia benar-benar terlihat menimati keindahan di langit malam itu.

Namun, malam itu, di mataku ada hal lain yang terlihat lebih indah dibanding kembang apinya. Entah karena pecikan cahaya yang menerpa wajahnya, atau karena menyadari waktuku yang tak banyak lagi, untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa gadis yang selama ini bersamaku telah tumbuh menjadi gadis yang cantik.

Di tengah kemilau cahaya yang menyebar ke semua penjuru, wajah Haruka benar-benar terlihat manis. Mata bolanya berbinar memantulkan warna-warni kembang api. Rambutnya yang dipotong pendek dihiasi hiasan rambut berbentuk bunga. Yukata merah muda yang dikenakannya juga membuatnya terlihat sangat anggun. Dan setelah kembang api terakhir meledak, ia menoleh ke arahku, kemudian memberikan senyuman tipis yang sangat manis.

Sedetik kemudian, aku menyadari ada yang aneh dari senyumnya. Di antara senyuman manis itu, aku melihat air mata.

Kenapa? Bahkan aku belum mengatakannya.

Apa ia sudah tahu?

Tapi dari mana ia mengetahuinya? Apa mungkin dari ibu?

Ah bodohnya aku. Tentu saja ia mengetahuinya. Haruka selalu mengetahui semua hal tentangku.

Setelah menarik napas dalam, aku memantapkan diri untuk menceritakannya, “Haruka, di pertengahan musim panas ini, aku akan pindah ke Hokkaido.”

Tidak seperti keluarga Haruka yang hangat, kehidupan keluargaku benar-benar berantakan. Ketika orang tuaku mengira aku sudah tidur, mereka sering kali bertengkar. Di pagi harinya, suasana rumah kami tidak pernah tentram lagi. Aku selalu mersa seperti ada di tempat yang salah. Seperti ada kekosongan yang menyesakan. Ya, keluarga kami telah lama kehilangan kehangatan itu. Puncaknya, ayah dan ibu pun bercerai. Dan aku memilih untuk ikut ibu pindah ke kampung halaman kami di Hokkaido.

Haruka tidak mengatakan apapun. Hanya sebuah anggukan kecil yang tidak kumengerti maksudnya. Mungkinkah ia sudah mengetahuinya dan hanya menungguku untuk mengatakannya secara langsung?

“Tanabata tahun ini…” Aku baru ingin menjelaskan semuanya ketika Haruka tiba-tiba bicara dengan suara lirih. “Untuk terakhir kalinya, ikutlah menrayakannya bersama kami.”

Tentu saja aku tidak mungin menolak permintaanya. Aku sendiri juga tidak ingin pergi tanpa merayakan tanabata bersama Haruka.

Sangat berat rasanya harus pindah ke tempat yang jauh dan berpisah dengan seorang gadis yang telah menemaniku selama bertahun-tahun. Aku mulai mengeriti, mungkin inilah yang dirasakan oleh Orihime dan Hikoboshi ketika dipaksa berpisah. Tapi kenapa kami juga harus merasakannya? Padahal kami tidak membuat siapapun murka.

Malam itu, sungai Sumida menjadi sungai Amanogawa kami.


***

Tiga hari kemudian, di sinilah aku sekarang. Di pekarangan rumah Haruka, aku berdiri memandangi lembarang-lembaran tanzaku yang sudah tergantung di antara dedaunan. Di tanganku, selembar tanzaku berwarna kuning masih bersih tanpa tulisan apapun. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, aku tahu betul apa yang kuinginkan. Namun entah mengapa, tahun ini aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mungkin itu karena terlalu banyak yang kuiingnkan sekarang.

Di tengah kebingunganku, tiba-tiba Haruka berdiri di sampingku. Pandangan matanya ikut mengarah ke pohon bambu depan kami. “Kau ingat kisah tanabata yang penah kuceritakan dulu?”

“Ya, aku selalu menginatnya.”

“Sebenarnya, masih ada lanjutan kisah yang tidak kuceritakan. Dan hal itulah yang menjadi alasan dilakukannya tradisi ini,” kata Haruka sambil menunjukan lembar tanzaku-nya kepadaku. Kulihat sekilas, ia sudah menuliskan harapannya.

“Pada malam sebelum bertemu, Orihime dan Hikoboshi terus menuliskan sajak-sajak harapan pada lembaran tanzaku, kemudian mereka menggantungkannya pada pohon bambu. Batang pohon bambu ini dipercaya akan tumbuh sampai ke langit, sehingga harapan mereka dapat terbaca oleh Dewa.”

Setelah selesai bercerita, untuk pertama kalinya Haruka menunjukan harapannya padaku. “Apa kita bisa mengharapkan hal yang sama seperti Orihime dan Hikoboshi?” Walalupun ia mengulurkan tangannya untuk memperlihatkan tanzaku-nya, Haruka sama sekali tidak menatapku. Matanya memandang jauh menyapa bintang-bintang di langit malam.

Semoga bisa bertemu kembali. Harapan singkat itulah yang tertulis di tanzaku Haruka.

“Bisa. Pasti bisa,” jawabku. Setelah itu, aku tahu apa yang harus kutuliskan pada tanzaku milikku. Setelah selesai menulis, kami menggantungkan tanzaku kami secara berdampingan pada titik tertinggi di pohon bambu itu. Berharap Dewa benar-benar membacanya.

“Jadi itu harapanmu?” Setelah Haruka membaca harapan yang kutuliskan, ia tertawa. Namun kali ini, ada air mata di tawanya.

“Bukan sekedar harapan. Itu adalah janjuku,” jawabku yakin sambil menatap mata Haruka.

Dari temapat kami berdiri, samar-samar kami masih bisa membaca harapan yang tertulis pada tanzaku mikikku.

Semoga bisa bertemu kembali, pada malam tanabata setiap tahunnya.


***


Sayangnya pada musim panas berikutnya, Dewa tidak membaca harapan kami. Padahal pada malam tanabata, hujan tidak pernah turun. Sungai Amanogawa juga tidak pernah memisahkan kami. Tapi tetap saja aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Haruka. Dan hal itu terus terulang bahkan sampai kami lulus SMA.

Haruka pasti terus menungguku. Sebagaimana aku terus mendambakan kesempatan untuk kembali. Tapi di sisi lain, ada sebuah bisikan-bisikan yang mengganguku. Bagaimana kalau Haruka sudah melupakan harapan dan janji itu? Bagaimana kalau Haruka sudah melupakanku? Ya, walau bagaimanapun, sudah bertahun-tahun berlalu sejak malam tanabata terakhir kami. Dan sekarang kiami bukan anak-anak lagi. Bakankah hal yang wajar kalau Haruka sudah melupakannya?

Karena tidak tahan dengan pikiran negatif tadi, akupun meraih ponselku untuk menghubungi Haruka. Beberapa tahun terkhir ini, aku tidak pernah menghubunginya. Begitu pula sebaliknya. Kami hanya beberapa kali saling berkirim e-mail. Sejujurnya, aku malu untuk menghubunginya karena tidak bisa menepati janjiku. Semoga nomornya masih sama.

“Moshi-moshi. Haruka?”

Untuk beberapa saat, tidak terdengar jawaban di seberang sana. “Mungkinkah? Izuki-kun?”

“Iya. Sudah lama ya. Bagaiaman kabarmu?”

Lagi-lagi Haruka diam. Namun di tengah kesunyian, aku mendengar sebuah suara. Suara isakan. Apa Haruka selalu menangis ketika mengingatku? “Apakah di malam tanabata tahun ini kau akan datang?” tanya Haruka mengabaikan pertanyaanku sebelumnya.

Aku tertawa getir dalam hati. Ternyata ia masih ingat janji kita. “Kuharap tahun ini aku bisa memenuhinya,” aku benar-benar meletakan semua harapanku dalam jawaban itu. “Hanya saja, kali ini kau jangan menangis ya. Aku takut tangisanmu membanjiri sungai Amanogawa kita.”



TAMAT.


***

Terima kasih sudah membaca cerita saya. 
Hari ini, saya memutuskan untuk berbagi cerita di akun Wattpad saya dan cerita "Sebatang Bambu, Secarik Kertas dan Harapan untuk Bertemu Kembali" adalah tulisan pertama saya di Wattpad :),
Jadi bagi teman-teman yang juga menggunakan Wattpad, kita saling follow yuk. Akun Wattpad saya David Rohadi // @rohadidavid :).

Cerpen ini sendiri merupakan naskah yang saya kirim untuk mengikuti sebuah lomba cerpen bertema Jepang. Setelah sangat percaya diri karena merasa diri saya "Jepang Banget," ternyata saya masih kalah juga XD.
Kegagalan Lainnya XD.

Tapi hikmahnya, dengan kegagalan ini, naskah ini jadi bisa dipost di Wattpad dan Fuwa Fuwa Zone kan :).

Mohon Kritik & Sarannya.
Selamat membaca :).



(Bonus: Sosok Haruka di kepala pemilik instagram @rohadidavid )



@rohadidavid

THANKS.

3 comments: